Kasus asap bukanlah peristiwa baru bagi Indonesia. Hampir tiap tahun kejadian ini berulang, mulai dari asap yang berasal dari hutan di tanah gambut—Kalimantan—sampai hutan di Sumatera. Pemerintah tiap tahunnya berusaha keras untuk mengatasi masalah ini. Ironisnya, tetap saja tidak terselesaikan. Pemerintah terkesan reaktif, tidak menyelesaikan masalah dengan mencabut akarnya tapi hanya mengatasi gejala-gejala (symptom) saja.
Masalah asap dapat dipisahkan menjadi dua penyebab, yakni akibat alam dan ulah manusia. Alam menimbulkan asap dengan musim kemaraunya yang berkepanjangan sehingga hutan menjadi kering dan terbakar. Sedangkan manusia menimbulkan asap akibat keserakahan yang dilakukannya.
Gejala alam yang semakin ”menggila” dapat dibaca oleh manusia lewat ilmu pengetahuan. Namun manusia tidak dapat memprediksi tepat sepenuhnya tentang alam. Sehingga asapa sebagai akibat dari alam, wajar diatasi dengan tindakan reaktif. Sedangkan asap yang berasal dari ulah manusia seharusnya diatasi dengan tindakan yang antisipatif. Metode penyelesaian dua penyebab ini harus berbeda.
Manusia adalah homo economicus, rasional berakal. Faktor penyebab asap yang dominan adalah akibat pembukaan lahan hutan menggunakan metode pembakaran. Metode ini sangat menguntungkan bagi pengusaha karena dapat meminimalisir cost. Bila cost rendah, maka profit cenderung meningkat.
Logika seperti inilah yang menyalahi filosofi dasar bisnis. Filosofi bisnis mencakup tiga hal, yakni keuntungan maksimum, jangka panjang (sustainability) dan tanggung jawab sosial. Selama ini, penekanan dunia bisnis cenderung berkutat pada filosofi keuntungan maksimum saja. Bahkan keuntungan maksimum hanya difokuskan pada aspek finansial, padahal ada aspek non-finansial. Seharusnya ketiga filosofi ini diterapkan secara beriringan, tidak dapat parsial satu-persatu.
Filosofi keuntungan maksimum menjadi sangat dominan karena pengusaha hidup dalam sistem bisnis yang berparadigma kompetisi. Iklim kompetisi memiliki prinsip dasar bahwa yang ”kuat” adalah pemenangnya. Sayangnya, untuk dapat menjadi ”kuat” banyak pengusaha yang menghalalkan segala cara. Seperti, membakar hutan, menyuap oknum aparat, menggelapkan pajak dan sebagainya.
Solusi untuk merubah ini adalah dengan menciptakan sistem bisnis yang kooperatif. Kooperatif antara pengusaha, pemerintah dan masyarakat dengan tujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Sistem ini telah dicanangkan Bung Hatta—lewat koperasi—sejak dulu dan dianggap tepat dengan jiwa bangsa Indonesia.
Contoh negara yang menggunakan paradigma kooperatif adalah Cina. Pengusaha China membeli bahan baku industri dengan secara bersama-sama dalam jumlah besar, sehingga mendapatkan harga bahan baku yang lebih murah. Praktik ini menyebabkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Pemerintah berperan sebagai pendata pengusaha yang membutuhkan bahan baku, mendapat keuntungan meningkatnya devisa negara. Pengusaha mendapat keuntungan harga bahan baku yang lebih rendah dan masyarakat mendapat keuntungan harga pakaian yang lebih murah.
Memahami kembali filosofi bisnis dan menciptakan sistem bisnis kooperatif adalah solusi yang tepat bagi kasus asap di Indonesia. Dengan menerapkan dua hal ini diharapkan tidak ada lagi kasus-kasus pencemaran dan pengrusakan lingkungan yang bermotifkan bisnis.