Pancasila adalah perjanjian luhur (gentleman’s agreement) yang berfungsi sebagai perekat bangsa dan mengandung great ideas (gagasan besar). Isi Pancasila mencakup monoteisme, humanisme, nasionalisme, demokrasi dan keadilan.
Selama ini, kita telah mendapatkan pelajaran tentang Pancasila semenjak pendidikan dasar, namun selama itu pula kita tidak memahami makna dan fungsi Pancasila, entah fungsinya sebagai pandangan hidup bangsa, dasar ideologi bangsa ataupun dasar filosofis bangsa ini berdiri.
Tanpa sadar kita mengabaikan nilai-nilai yang ada pada Pancasila dan menganggap jijik pelajaran Pancasila maupun turunannya (PPKN, Kewarganegaraan dan Kewiraan). Padahal bila dilihat secara mendalam Pancasila memiliki misi perbaikan bangsa dan jatidiri bangsa yang sangat meng-Indonesia.
Termasuk tentang nilai-nilai ajaran Pancasila akan arti kesejahteraan, keadilan dan perekonomian. Untuk itu tulisan ini akan mengupas tentang kondisi kontemporer, kritik dan gagasan ekonomi yang terkandung dalam Pancasila.
Pancasila Vs Bangsa Inferior
Bangsa adalah sejarah kisah-kisah. Terbentuk dari kesadaran untuk menyatukan diri. Sebagai kisah, bangsa membutuhkan nations building. Negara harus memperkuat karakter kebangsaan, bisa dengan pendidikan maupun pelayanan. Negara yang melayani rakyatnya –secara tidak langsung –akan menambah rasa nasionalisme. Sebagai contoh masyarakat Amerika memiliki slogan ”Right or Wrong, this is my country”. Ungkapan ini menggambarkan kebanggaan rakyat Amerika. Walau hal ini terjadi di balik kebobrokan dan kearoganan pemerintahnya dalam politik luar negeri Amerika, masyarakatnya tetap berbesar hati menjadi warga negara Amerika.
Selain nations building, sebuah bangsa bisa dibentuk karena kesadaran untuk menyatukan diri. Dalam proses menyatukan diri ini dibutuhkan sistem sosial yang mapan. Pancasila diasumsikan bisa melakukan dua hal ini.
Ironisnya, bangsa kita terserang penyakit Inferiority complex. Inferior dalam memandang khasanah budaya bangsa. Seolah-olah enggan menjadi warga negara Indonesia. Di sekolah-sekolah, kita sulit menemukan kreasi siswa—misal majalah dinding—yang menggunakan corak-corak kebudayaan nasional seperti wayang, batik dll. Yang ada adalah wujud kreativitas yang dibungkus dengan budaya-budaya asing, bisa ke jepang-jepangan —komik jepang, tulisan-tulisan jepang—ke amerika-amerika-an dan ke-an yang lain. Dalam kasus konsumsi,misalnya, kita malu untuk menggunakan produk dalam negeri. Dalam berbahasa, malu untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan yang lebih parah, karena saking inferiornya,kita tidak percaya diri untuk hidup mandiri.
Pancasila adalah Ideologi Akomodatif
Proses terbentuknya Pancasila mengalami fase-fase yang sulit. Terjadi debat-debat panjang antara golongan-golongan yang ada. Walau akhirnya Pancasila bisa lahir dengan terlebih dulu menghapus tujuh kata yang ada di Piagam Jakarta.
Pendiri bangsa memahami pentingnya menentukan ideologi bangsa. Akibat situasi yang tidak kondusif, Pancasila dipaksakan untuk di-ideologi-kan sesegera mungkin. Hal ini menyebabkan Pancasila menjadi sangat akomodatif. Dalam jangka pendek masalah ini tidak akan terlalu parah, bahkan bisa memperkuat persatuan. Namun di jangka panjangnya, ada kecenderungan hal ini menimbulkan masalah. Sebagai contoh, berbeda-bedanya penafsiran akan Pancasila dalam hal-hal tertentu, semisal pornografi dan Perda yang bernuansa Islami. Jelas bila kita berpikir Pancasilais maka pornografi adalah hal yang merusak moral dan harus dilarang. Tapi sampai saat ini RUU Pornografi masih saja belum disahkan, ironisnya argumen yang digunakan juga memakai Pancasila. Kemudian tentang Perda yang bernuansa Islami, golongan nasionalis berargumen bahwa Perda ini tidak sesuai dengan Pancasila dan berpotensi menimbulkan konflik, tapi golongan Islam berpendapat bahwa terbentuknya Perda ini berasal dari pengembangan pemikiran pancasila terutama sila pertama.
Bila seperti itu terus menerus, Pancasila akan segera terkikis. terkikis karena tiada lagi yang akan membela pancasila bila nanti dilecehkan. Bisa saja masing-masing golongan mengatakan bahwa hal yang melecehkan Pancasila tersebut—menurut penafsiran golongannya—bukanlah masalah. Pancasila seharusnya hanya memiliki satu tafsir yaitu tafsir Pancasila. Bukan tafsir Pancasila Nasionalis, Pancasila Sosialis ataupun Pancasila Islamis.
Gagasan Ekonomi Pancasila
Krisis moneter yang terjadi diakhir tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998, menjadi penyebab ekonomi Indonesia ambruk. Padahal di tahun 1994 Indonesia dimasukkan dalam jajaran negara yang perekonomiannya menghasilkan miracle economy oleh world bank, termasuk dalam negara-negara yang dikategorikan ekonominya ajaib adalah Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura, Thailand dan Malaysia.
Fakta inilah yang menunjukkan kekeliruan fatal teori ekonomi konvensional. Tidak mungkin satu perekonomian dengan fundamental ekonomi yang baik dan sehat dapat collapse dalam waktu sangat cepat. Jelas bukan kebijakan ekonomi Indonesia yang salah, tetapi teori atau ilmu ekonominya yang harus diakui keliru[1].
Kenyataan akibat terjadinya krisis ini adalah makin miskinnya negara dan pengusaha besar (korporasi), karena dua penggiat ekonomi ini menggunakan dollar dalam aktivitasnya sehingga turunnya nilai rupiah meningkatkan utang atau kewajiban mereka. Sedangkan pelaku ekonomi mikro dan kecil sama sekali tidak merasakan pengaruh krisis ini.
Peristiwa ini yang menyebabkan gaung ekonomi pancasila ”dipaksa” untuk hadir kembali berperan langsung dalam menanggulangi perekonomian Indonesia. Ekonomi pancasila atau ekonomi kerakyatan ketika diaplikasikan dalam masyarakat akan menghasilkan masyarakat yang adil dan makmur. Makmur yang bukan hanya bermakna material saja tapi juga bersifat spiritual. Makna adil pun ditujukan untuk membuka paradigma kita akan pentingnya keadilan yang akan menghasilkan kemakmuran.
Nilai Pancasila merupakan hasil dari ”galian” nilai-nilai yang ada di masyarakat Indonesia. Sehingga ilmu ekonomi yang berlandaskan pada pancasila sangat baik diterapkan di masyarakat karena sesuai dengan perilaku subjek perekonomian.
Ekonomi Pancasila menempatkan subjek ekonomi tidak hanya sebagai konsumen namun juga mendorong mereka menjadi produsen dalam perekonomian negara. Ekonomi Pancasila tidak hanya mempertimbangkan makro ekonomi (fiskal maupun moneter) saja, tapi mempertimbangkan aspek riil dan informal perekonomian negara.
Ilmu ekonomi adalah ilmu yang tidak bebas nilai sehingga moral dan aspek-aspek pendukungnya menjadi penting dalam penerapan ilmu ekonomi. Pertanyaan kritis menyangkut ekonomi Pancasila adalah apakah ekonomi Pancasila mampu untuk diterapkan di negara selain Indonesia, semisal Timor-Timur—negara yang pernah menjadi bagian dari Indonesia.
Sebagai anak bangsa, mengisi kemerdekaan bangsa adalah kewajiban yang harus diutamakan. Nilai-nilai baik yang selama ini telah ada didalam bangsa harus terus dilestarikan. Impian tentang kesejahteraan, keadilan sosial, dan kemanusiaan harus kita wujudkan. Pancasila sebagai ideologi memang masih banyak dikritik, tapi bukan berarti kita tidak dapat meraih cita-cita yang diimpikan oleh pendiri bangsa dengan tetap memiliki jiwa Pancasilais.
[1] Mubyarto, lahirnya ekonomi pancasila, hlm 1.