Sejak pertama kali kuliah di UGM tahun 2004, saya selalu melihat seorang pengemis tua yang duduk di depan pintu timur Fakultas Ekonomi. Pengemis ini adalah seorang nenek berusia senja yang sepatutnya lebih banyak beristirahat dirumah daripada memanggang diri ditengah terik mentari. Biasanya nenek ini “parkir” di posisinya dari pukul tujuh pagi hingga empat sore. Anehnya hingga kini di akhir tahun 2007, sang nenek tetap mengemis dengan posisi duduknya yang tidak beranjak dari tempat “ngemis”di tahun 2004.
Dapat dikatakan, tiga tahun “usaha” nenek tersebut tidak menghasilkan kualitas ekonomi yang lebih baik. Padahal sepenglihatan saya, cukup banyak penghasilan harian yang didapatkan. Bisa mencapai 20rb hingga 40rb rupiah atau Rp 1.200.000 per bulan.
Bila kita beranjak sedikit dari tempat sang nenek, di sebelah mushola fakultas psikologi pemandangan serupa dapat ditemui. Juga seorang nenek renta yang beraksi mengemis di fakultas ini. Persis dengan nenek pertama, pengemis ini sudah ada sejak tahun 2004, seakan-akan mengindikasikan ada kapling-kapling tertentu di sekitar kampus yang menjadi wilayah kerja seorang pengemis. Wilayah yang tidak boleh diganggu gugat oleh “pendatang baru”. Lantas pertanyaannya adalah siapa yang mengorganisir kapling-kapling ini? Bila pengemis yang ada tidak terorganisir dan menggunakan mekanisme pasar dalam menentukan wilayah kerjanya, tentu siapapun boleh mengemis di wilayah manapun sesuka hati. Namun, kenyataannya tidak. Tampak ada kesepakatan yang mengatur. Tetapi ironisnya kesepakatan ini tidak cukup cerdas dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Buktinya jelas, sampai detik ini mereka tetap mengemis.
Bila dapat bersepakat untuk menentukan kapling, mengapa para pengemis ini tidak dapat bersepakat untuk membentuk paguyuban? Dengan paguyuban mungkin saja mereka dapat mendirikan koperasi atau usaha yang dikelola bersama. Penghasilan seorang pengemis per hari yang rata-rata sekitar 40 ribu rupiah bisa disisihkan untuk modal awal mereka. Logika usaha bersama ini bukanlah logika elitis yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mengenyam pendidikan. Berdasar naluri dan pengalaman sehari-hari pun cukup. Semua dapat melakukannya, hanya tinggal kemauan dan berpikir logis. Namun, ironisnya hal ini sulit diwujudkan. Spekulasi, takut untuk berubah dan mindset yang salah begitu dominan dalam perilaku masyarakat. Ditambah lagi dengan mental individual yang kian mencuat, self-centered hingga egoisme (Winarno 2007), sikap mental yang menggerus budaya gotong royong dalam masyarakat. Koperasi yang diusung dan didesain oleh Hatta sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan rakyat kian tergusur oleh logika persaingan an sich. Sebuah logika yang didasarkan pada pengagungan individualisme dan percaya bahwa dengan selalu berkompetisi hasil yang terbaik akan diraih, logika inilah yang sedang menjadi “primadona” bahkan dikalangan kaum marginal sekalipun
Negara yang seharusnya menjalankan fungsi jaminan sosial tidak lagi bisa diandalkan. Birokrat yang korup, otonomi daerah yang disalahartikan, improfesionalitas lembaga pemerintahan, miss priority hingga mismanagement masih sering dan terjadi berulang kali. De Soto berpendapat bahwa kaum marginal dapat meningkatkan kesejahteraannya dengan cara merubah asset pasif mereka menjadi aset yang likuid. Kemudian, berbekal jiwa wirausaha, asset likuid ini bisa diputar hingga menghasilkan return yang diharapkan.
Berbeda dengan pendapat De Soto, Yunus menawarkan solusi berupa pemberian akses capital kepada kaum marginal yang didasarkan pada sikap saling percaya, kontrol internal dan prospek usaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Dalam kasus pengemis diatas, peran edukasi Negara terhadap kaum marginal dan peran intermediasi lembaga keuangan menjadi dua hal yang sangat berpengaruh. Baik pendapat De Soto maupun Yunus dapat diaplikasikan di negara ini. Pengetahuan akan seluk beluk wirausaha dan penanaman visi hidup bermartabat menjadi hal yang juga penting untuk dipahami oleh masyarakat. Pendidikan akan pentingnya kebersamaan dan kekeluargaan harus semakin dimasifkan. Banyak contoh dimana kerjasama, koalisi ataupun merger menjadi jalan sukses perusahaan-perusahaan besar. Sekedar akses terhadap capital tidaklah cukup memperkuat competitive advantage kaum marginal di era globalisasi saat ini. Bila mereka yang marginal bersatu, bekerjasama dan berwirausaha maka secara agregat keadaan ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Pertanyaannya adalah dimulai dari mana?