Sebenarnya apa yang menjadi magnet dalam kekuasaan? Apakah teori motivasi Maslow, teori x dan y—McGregor, ataupun teori-teori lainnya cukup menjelaskan fenomena pesta politik di Indonesia? Seringkali saya tidak habis pikir,bagaimana seorang kepala sekolah MTs di sebuah desa berani mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk menjajal pemilihan kepala desa? atau bagaimana seorang pemuda pengangguran berani membawa nama besar orang tuanya untuk dijual dalam pemilihan kepala daerah langsung. Dan tentu saja lagi-lagi pasti mengeluarkan biaya.
Adakah biaya dan resiko dipikirkan oleh mereka yang nekat ini. Di daerah Boyolali, sampai bulan Agustus kemarin belum satu pun kepala desa yang menerima gaji, padahal tanah bengkok desa telah dikembalikan kepada kas desa. Walau berarti kepala desa belum tentu mendapat “penghasilan” yang sepadan, tapi tetap saja setiap ada pembukaan pendaftaran calon kepala desa, pasti ramai diikuti peserta.
Disalah satu desa Jawa Tengah, tiap-tiap calon rela menghabiskan ratusan juta rupiah untuk biaya kampanye dan kesuksesan pencalonannya. Menurut penuturan salah satu tim sukses yang saya temui, tim jagoannya kalah karena hanya menyediakan dana kampanye sekitar Rp 250 juta sedangkan calon yang menang menggelontorkan anggaran hingga Rp 450 juta. Dana ini digunakan untuk pendirian posko, penyebaran publikasi hingga mengadakan pentas dangdut. Ketika saya tanya motivasi pencalonannya, tim sukses ini beralasan bahwa semuanya semata-mata atas dasar prospek penarikan retribusi dan pungutan-pungutan yang dapat dilakukan oleh aparat desa terhadap banyaknya pabrik yang berdiri di wilayah desa tersebut. Identik dengan logika seorang pedagang saja, hanya untung yang dicari.
Fenomena lain terjadi di desa Caturtunggal. Desa yang tercatat sebagai desa terkaya di Jogja-Jateng ini menyelenggarakan pesta demokrasinya pada 28 oktober lalu. Layaknya pemilu nasional, pemilihan kepala desa ini sangat riuh meriah, ada calon yang mengedepankan nama orang tua, nama perusahaan, penggunaan simbol agama tertentu, dan tidak ketinggalan penyebaran kampanye hitam (black campaign). Hal ini tidak jauh berbeda dengan gambaran politik nasional. Mereka yang menggunakan rekam jejak orang tua, bendera agama, payung usaha, ataupun sentimen kesukuan percis ada. Perbedaannya hanya ada pada skala.
Calon kepala desa yang mendaftar di desa ini sebanyak 8 orang. “Potensi” desa yang cukup wah karena terbentang luas mencakup wilayah utara UGM hingga Jalan Solo seakan menjadi prospek yang “cerah”. Entah apakah proses pilkades yang dilalui oleh masyarakat Indonesia saat ini akan memberikan edukasi politik atau hanya proses desentralisasi korupsi.
Tampaknya semakin banyaknya pemilihan-pemilihan yang dialami oleh warga Negara Indonesia tidak berkorelasi positif dengan pencerahan dan kesadaran politik. Sebagai contoh, seorang ibu yang berusia 48 tahun dan telah mengikuti pemilihan umum sebanyak 7 kali ternyata masih tidak mengedepankan rasionalitas dalam memilih calon kepala desanya. Pada pemilihan kepala desa ditempat beliau tinggal, hanya terdapat dua orang calon kepala desa. Sang ibu mendengar gosip bahwa calon nomor urut 2 adalah buronan yang masih dikejar-kejar oleh aparat kepolisian, sehingga dengan mantap pilihan ibu ini jatuh pada nomor urut satu walau nama saja tidak dikenal oleh sang Ibu. Agak berbeda dengan sang ibu, anak ibu ini memilih calon kadesnya karena melihat gambar calon yang terpampang ganteng. Ibu-anak ini mempunyai latar pendidikan yang berbeda. Sang ibu hanya lulusan SMP sedangkan sang anak adalah mahasiswi tingkat 3, ironisnya rasionalitas mereka hamper sama.
Banyak kasus lain yang mengindikasikan hipotesis diatas terbukti, penyebabnya bisa jadi karena tipikal masyarakat kita yang unik, seperti cepat melupakan sejarah, euphoria kesukuan, tidak rasional. Sedangkan dalam hal sistem diduga penyebab terjadinya hal diatas adalah lemahnya pengawasan dan sempitnya jalur interupsi politik. Atau mungkin juga penyebabnya adalah karena masyarakat telah bosan dengan begitu padatnya jadwal pemilihan umum (kepala desa, bupati hingga presiden) yang menyebabkan mereka beranggapan bahwa pemilihan umum hanyalah ajang main-main yang bisa di-trial-error-kan, sehingga masyarakat hanya berpikir pragmatis tanpa perlu menguras otak untuk memilih secara rasional.
Walau kini kita bisa merasakan demokrasi yang relatif bebas, sayangnya kebebasan ini harus dibayar dengan demokrasi yang berbiaya tinggi. Hingga akhirnya proses pemilihan kepala desa hingga presiden langsung hanya menghasilkan pemenang berdasarkan berapa banyak rupiah yang dihabiskan, bukan pemenang yang benar-benar bisa memimpin. Pertanyaan , siapa memberi apa dan berapa menjadi kian relevan. Ironis.