“Belajarlah walau dari seekor keledai!! Sebuah nasihat yang mengisyaratkan bahwa hikmah ada dimana-mana. Belajarlah!!
Suatu pagi saya mencoba untuk menangkap serakan hikmah dengan mengikuti sebuah Kuliah umum di Universitas ternama ibukota. Tema yang diangkat adalah teknologi. Di mana kala itu ketika mendengar kata teknologi, orang seusia saya akan terasosiasi tidak sadar dengan Playstation, X-Box, Windows, Star Wars, Robocop atau sebangsanya. Pembicara pada seminar ini adalah seorang doktor dari Indonesia dan profesor berkewarganegaraan Korea. Uraian panjang lebar di waktu pembahasan berjalan dengan membosankan. Hal yang memang sudah jamak terjadi di forum-forum ilmiah, sampai ketika ada seorang penanya yang mempertanyakan Korea.
”Apa yang menyebabkan Korea dapat maju pesat jauh melebihi Indonesia ? padahal dulu di tahun 60-an, Indonesia sempat mengirimkan bantuan bahan pangan ke Korea yang sedang dilanda perang bersaudara tiada henti?” ujar penanya tersebut. Profesor asal korea tersebut menjawab ”Korea bisa maju karena kami punya rasa benci. Bangsa kami pernah dijajah oleh Jepang, sama seperti Indonesia. Kala itu kami sebagai bangsa benar-benar terhina. Diperas, diinjak, disiksa, dipaksa dan dizalimi oleh Jepang tanpa perikemanusiaan. Ribuan keluarga kami dipenjarakan, wanita-wanita diperkosa bahkan banyak yang dibunuh. Hari-hari kelam kala itu ditambah lagi dengan menjadikan kami sebagai kelinci percobaan, tubuh kami disuntikkan dengan berbagai macam zat persis seperti hewan percobaan. Jepang pun menemukan sebuah teori yang memiliki tesis bahwa aliran darah bila dimasukkan dengan oksigen akan menyebabkan kematian bagi manusia. Penemuan ini dipatenkan oleh Jepang, tiap mendengar hal ini hati kami miris. Beranjak dari pengalaman sejarah yang pahit ini kami pun bertekad untuk membalas semua perbuatan Jepang. ”I want to beat Japan everywhere” slogan ini seakan menjadi ruh bangsa kami. Setiap manusia di Korea memahaminya, bahkan bila anda tanyakan pada Balita dan Manula. Kebencian terhadap Jepang seakan menjadi ideologi kami. Maka, tidaklah mengherankan bila hari ini bangsa kami memiliki berbagai Industri selayaknya Jepang. Mereka memiliki SONY kami punya SAMSUNG. HONDA kami lawan dengan KIA atau HYUNDAI dan sebagainya.”
Profesor Korea ini meneguk segelas air minum, lalu segera melanjutkan ”Sebenarnya Indonesia punya kans untuk maju. Saya melihat potensi besar bangsa Anda. Tapi saya pikir letak kegagalan kemajuan bangsa anda adalah ideologi Anda. Pancasila menurut saya bukanlah ideologi yang cocok untuk Indonesia. Karena ideologi Pancasila Anda cenderung akomodatif. Sehingga ketika ada yang menginjak Pancasila tidak semua pihak akan membelanya. Tidak seperti rasa benci kami yang mendarah daging terhadap Jepang. Ideologi yang cukup baik bagi bangsa Anda menurut saya adalah Islam. Mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sehingga bila ada hal-hal yang berkaitan dengan Islam diinjak-injak maka mayoritas penduduk Indonesia akan melawan. Muncullah rasa persaudaraan dan persamaan nasib yang kental, otomatis bangsa Anda dapat maju dengan ini.”
Pengalaman di atas menimbulkan kesan tersendiri bagi saya. Berawal dari peristiwa tersebut saya mencoba untuk tidak lagi mengabaikan masalah ideologi dan sejarah negara-bangsa Indonesia. Sebagai pemuda Indonesia, saya masih sering bertindak tanpa ruh kebangsaan. Ini memalukan!!
Masih segar dalam ingatan, peristiwa bunuh diri seorang petani korea ditengah arus demonstrasi penentangan rencana liberalisasi pasar beras Korea. Petani ini, Lee Kyung-hae, memprotes kebijakan WTO dengan cara menusuk jantungnya hingga tewas. Mendengar berita ini, bulu kuduk saya merinding. Ternyata masih ada orang yang bersedia mati hanya untuk beras.
Kebijakan WTO mewajibkan bagi setiap anggotanya untuk membuka pasar domestiknya dari segala bentuk proteksi dan subsidi. Semua harus bergerak dengan mekanisme pasar. Korea sebagai salah satu negara anggota WTO tidak luput dari kebijakan ini. Pemerintah Korea harus segera meratifikasinya bila ingin tetap mempertahankan citra dan kredibilitas negara. Dilema memang, disatu sisi ada keinginan kuat untuk melindungi petani Korea sedang disisi lain negara ini harus segera membuka pasar berasnya.
Uniknya, desakan membuka pasar beras ini telah terjadi sejak tahun 1995. Namun, baru diratifikasi oleh Korea tahun 2005 lalu. Sebuah strategi diplomasi cerdas yang hanya bisa dilakukan oleh diplomat yang tidak sekedar pintar semata tetapi juga memiliki jiwa kebangsaan. Selama 10 tahun pemerintah Korea melakukan moratorium, semua demi kepentingan rakyat Korea. Bahkan setelah meratifikasi, pemerintah Korea menerapkan kebijakan liberalisasi bertahap hingga dibukanya 100% pasar beras Korea di tahun 2014.
Sikap pemerintah Korea, berbeda dengan pemerintah Indonesia. Dikala negara Korea sibuk mengajukan moratorium. Pemerintah Indonesia cenderung menganggap liberalisasi sektor beras ini bukan merupakan masalah. Seakan terbuai dengan jargon-jargon pasar bebas tapi mengindahkan kondisi petani bangsa sendiri. Disini saya bukan inferior memandang bangsa sendiri, tapi inilah kenyataannya.
Berkarakter, tampaknya kata ini yang tepat dalam mendeskripsikan bangsa Korea. Semua elemen bangsa ini mulai dari rakyat jelata, buruh, petani, pelajar, mahasiswa sampai pemerintahnya memiliki sense of belonging yang tinggi terhadap negara. Rakyatnya tidak segan untuk berteriak dikala pemerintah melakukan kesalahan, dan sebaliknya, pemerintah tidak malu untuk membela kepentingan Negara di dunia Internasional.
Seperti pembuka tulisan ini, Indonesia sebagai bangsa sebaiknya segera belajar dari Korea. Belajar tentang membentuk karakter, belajar tentang bersikap, belajar tentang menghargai budaya dan sejarah, belajar tentang anti plintat plintut.
Korea seakan membuktikan kepada kita bahwa menjadi pintar saja tidak cukup. Menjadi pintar bukan berarti harus lupa pada kulit pembungkusnya. Setiap tindakan, perbuatan dan ucapan harus dibalut dengan karakter kebangsaan.